Mengapa perempuan masih menjadi minoritas dalam parlemen lokal, meskipun kebijakan afirmatif 30 persen telah diterapkan? Uraian ini mengupas secara tajam keterbatasan kuota perempuan di DPRD Jawa Tengah pasca Pemilu 2019, dengan menelusuri akar permasalahan yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga kultural dan institusional. Budaya patriarki yang mengakar, stereotip gender yang melekat kuat, serta mekanisme internal partai politik yang tidak berpihak menjadi penghalang utama bagi keterwakilan perempuan.
Dengan menggunakan pendekatan kasus dan memanfaatkan teori gender stereotype serta supply-demand model, isi ini menyajikan penjelasan mendalam atas realitas politik yang timpang di tingkat lokal. Tidak sekadar berbicara angka, tetapi membongkar struktur yang menghambat partisipasi perempuan dalam politik elektoral. Ulasan ini menjadi bahan refleksi dan pijakan penting bagi siapa saja yang peduli terhadap penguatan demokrasi, kesetaraan gender, dan reformasi sistem politik yang lebih inklusif di Indonesia.
Ulasan
Belum ada ulasan.